SRAGEN, SBN – Nama Asmaraman Sukowati atau lebih dikenal dengan Kho Ping Hoo sudah tidak asing di dunia sastra Indonesia. Ia adalah maestro cerita silat yang karyanya abadi dan tetap digemari hingga kini.
Lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 17 Agustus 1926, Kho Ping Hoo memiliki latar belakang keturunan Tionghoa-Jawa, yang turut mempengaruhi kekhasan gaya dan narasi dalam kisah-kisahnya.Rabu, (29/01/2025)
Perjalanan Hidup yang Penuh Lika-Liku
Kho Ping Hoo berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya, Kho Kim Po, adalah seorang makelar pabrik gula sekaligus pendekar ahli silat Sio-Lim dari Tiongkok. Sementara ibunya, Sri Welas Asih, merupakan seorang pribumi dari Desa Bakulo, Yogyakarta.
Pendidikan formalnya hanya bertahan sampai kelas satu di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) karena keterbatasan biaya. Di usia 14 tahun, Kho mulai bekerja sebagai pelayan toko. Saat pendudukan Jepang di Indonesia, ia berpindah ke Surabaya dan menjadi penjual obat.
Ketika suasana politik memanas, Kho kembali ke Sragen dan bergabung dalam Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) yang berjuang bersama Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Setelah berpindah ke Kudus dan Tasikmalaya, kehidupannya mulai berubah. Di Tasikmalaya, ia semakin gemar membaca dan akhirnya mulai menulis.
Awal Karier sebagai Penulis
Pada awal tahun 1950-an, Kho Ping Hoo mengawali karier kepenulisannya dengan menjadi koresponden harian Kengpo, salah satu surat kabar ternama saat itu. Antara tahun 1958 hingga 1961, ia mulai menulis cerita detektif, novel, dan cerpen di berbagai majalah seperti Liberty, Star Weekly, dan Pantjawarna dengan nama samaran Asmaraman.
Pada tahun 1959, ia memberanikan diri untuk menulis cerita silat berjudul Pekliong Pokiam atau Pedang Pusaka Naga Putih yang dimuat di majalah Teratai, majalah yang ia dirikan sendiri. Karya ini menjadi awal dari ratusan cerita silatnya yang kelak melegenda.
Mendirikan Penerbit Gema dan Popularitas Karya
Pada tahun 1963, Kho Ping Hoo mendirikan Penerbit Gema di Surakarta. Di tengah berbagai tantangan, termasuk diskriminasi rasial terhadap warga Tionghoa di Indonesia, ia tetap gigih berkarya. Ia bahkan mendorong asimilasi budaya Tionghoa dengan pribumi melalui pernikahan campuran dan akulturasi dalam karyanya.
Sepanjang hidupnya, Kho Ping Hoo telah menulis lebih dari 200 judul cerita silat, yang setiap judulnya terdiri dari puluhan seri. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:
Pendekar Baju Putih (1959)
Banjir Darah di Borobudur (1959)
Keris Pusaka Nogo Pasung (1980)
Dua aliran utama dalam cerita silatnya berasal dari budaya Tiongkok dan Jawa. Salah satu karyanya yang paling monumental adalah “Kisah Para Pendekar Pulau Es”, yang terdiri dari 17 judul, dimulai dari Bukek Siansu hingga Pusaka Pulau Es.
Warisan yang Tak Terlupakan
Karya-karya Kho Ping Hoo tidak hanya digemari oleh masyarakat awam, tetapi juga dikagumi oleh tokoh-tokoh besar seperti Emha Ainun Najib, Sultan Hamengkubuwono X, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Setelah berjuang melawan komplikasi penyakit jantung dan ginjal, sang maestro meninggal dunia pada 22 Juli 1994 di RS Kasih Ibu, Solo. Atas dedikasinya terhadap dunia sastra, ia dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan, Anugerah Kebudayaan, dan penghargaan Maestro Seni Tradisi 2014.
Meskipun telah tiada, karya-karyanya tetap hidup dan terus dikenang oleh pecinta sastra silat Indonesia. Kho Ping Hoo tidak hanya menulis kisah-kisah pendekar, tetapi juga membangun imajinasi dan semangat keberanian dalam hati para pembacanya.(**)