Keputusan MK Tegaskan SMA/SMK dikelola Provinsi

Ilustrasi Pelajar SMA/SMK

SBNews.com  Bandarlampung – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan putusan menolak pengelolaan pendidikan menengah (SMA/SMK) ke pemerintah kota/kabupaten. Hal itu menguatkan bahwa Undang Undang (UU) pemerintah derah yang mengatur SMA/SMK tetap dikelola pemerintah provinsi.

Terkait perihal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Sulpakar, mengatakan, bahwa pemerintah sebagai aparatur negara harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh UU, selama itu yang sudah ditetapkan UU maka hukumnya wajib dijalankan.

“Saya melaksanakan tugas berdasarkan UU, jadi apapun keputusan MK yah harus dihormati,” singkat Sulpakar, via ponselnya di Bandarlampung, Rabu (19/7).

Sulpakar juga mengaku, tidak tahu menahu jika Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung, ngotot untuk mengelola kembali kewenangan SMA/SMK. “Wah, saya tak tahu menahu mengenai hal itu. Seperti yang saya bilang sebelumnya, jalankan tugas berdasarkan UU,” tukasnya.

Sementara itu, Akademisi Universitas Lampung (Unila), Undang Rosidin, sangat menyetujui keputusan MK, karena sudah sejak dahulu dirinya berkomitmen agar kewenangan SMA/SMK dipegang oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, dan SD/SMP biarlah dipegang kabupaten/kota atau dalam hal ini Pemkot Bandarlampung.

“Ini adalah pembagian kewenangan yang proposional dan rasional. Jika ada Walikota atau Bupati yang menggugat itu, ya saya juga agak heran, karena sudah bagus pengelolaan ditangani pemprov dengan fase persiapan transisi yang begitu panjang, kok malah gugat menggugat,”  jelas Undang.

Masih katanya, Pemkot Bandarlampung harusnya tidak perlu kawatir terkait program pendidikan yang sudah berjalan di SMA/SMK. Karena, Pemprov Lampung sudah memahami itu.

“Seperti program biling, jika baik yah diteruskan tapi jika dinilai tidak kondusif artinya yah tidak dilaksanakan. Ini kembali lagi kepada kebijakan provinsi sebagai pemegang kendali pendidikan menengah pada saat ini,” urainya.

Dirinya menegaskan, dengan pembagian kewenangan seperti ini memang sudah sangat tepat, hal ini juga agar beban APBD untuk mendukung pendidikan tidak terlalu berat dibawah. “Kan ini bagus juga buat pemkot, karena sudah dibantu pemprov,” ucapnya.

Untuk itu, apapun keputusan MK harus diikuti dan dilaksanakan. Artinya MK juga mengeluarkan keputusan sudah melalui pertimbangan-pertimbangan yang sangat meyakinkan bahwa pengelolaan jenjang pendidikan menengah pas ditangani Pemprov Lampung.

Sebelumnya, Walikota Bandarlampung Herman Hasanusi, pernah sesumbar bahwa kewenangan akan kembali ke pemkot. “Kabarnya MK memenangkan tuntutan kita.  Tapi,  kita masih menunggu nomor putusan MK itu,  karena kita juga termasuk yang melakukan tuntutan itu,  kata Herman HN, beberapa waktu lalu (13/7/2016)

Selain Walikota, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung, Suhendar Zuber (13/7/2016) juga mengaku telah mendengar bahwa MK memenangkan tuntutan tersebut.  Namun,  pihaknya masih menunggu nomor putusannya.

“Saya sudah suruh staf untuk memantau terus perkembangannya,  dan saya suruh browsing terus untuk mengetahui nomor putusannya. Karena yang pertama kali melakukan tuntutan Pemda Blitar dan Surabaya,  kemudian didukung oleh Apeksi yang termasuk Bandarlampung di dalamnya,” yakin Suhendar.

Seperti diketahui, MK berpendapat yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apa yang dijadikan kriteria bahwa suatu urusan pemerintahan konkuren kewenangannya akan diberikan kepada Daerah (baik daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota) atau akan tetap dipegang oleh Pemerintah Pusat.

Terhadap persoalan ini, UU Pemda menyatakan bahwa prinsip yang dijadikan dasar adalah prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. “Menurut MK, pendidikan masuk dalam urusan pemerintah yang wajib dipenuhi karena terkait dengan pendidikan dasar,” ujar MK.

Oleh karena itu, apabila berdasarkan keempat prinsip tersebut pembentuk Undang Undang berpendapat bahwa pendidikan menengah lebih tepat diserahkan kepada daerah Provinsi.

“Maka hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” demikian pertimbangan majelis.*(YU)

Bagikan berita ini:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.