OPINI: MENATA (ULANG) PILKADA SERENTAK

Oleh : Wendy Melfa
Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)

Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa berdasarkan komitmen pengambil keputusan penyelenggara negara dibidang ke-pemilu-an dan dituangkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 bahwa Indonesia bertekad untuk menyelenggrakan Pilkada sebagai bagian rezim pemilu (baca: mekanisme mewujudkan kedaulatan rakyat) secara efektif dan efisien, diantaranya menyelengarakan pilkada se nusantara secara serentak, dan tahapan pilkada serentak itu juga akan digelar pada September tahun 2020 untuk 270 daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) guna memilih Kepala Daerah (dan Wakil Kepala Daerah) yang periode masa jabatannya akan berakhir tahun 2020/2021.


Untuk mewujudkan rencana besar itu sendiri, pemerintah dan penyelenggara pemilu telah melakukan langkah dan tahapan yang dimulai pada bulan November 2019 yang lalu. Apa lacur, seperti pepatah bilang, “malang tak dapat diduga, untung tak dapat diraih” seakan tepat untuk menggambarkan kondisi dunia dan juga Indonesia, pandemic covid 19 melanda dunia termasuk Indonesia, dan hampir semua wilayah terkena dampaknya. Hal ini memaksa pemerintah dan juga masyarakat untuk menyesuaikan pola hidup dan prilakunya sebagai upaya untuk mengatasi, membatasi dan sekaligus mengantisipasi pola penyebaran virus corona yang penularannya dapat terjadi dari manusia ke manusia dengan cara mengikuti arahan WHO melalui pemerintah untuk mengikuti apa yang disebut social distancing, physical distancing dan juga protokol kesehatan.


Seolah ga sengaja, peradaban manusia dipaksa untuk berubah secara tiba-tiba dalam waktu yang singkat untuk tidak berkerumun, tidak bersentuhan satu sama lain, tidak berpegian (stay at home), moda transportasi dibatasi bahkan ditutup, berbagai aktivitas (keagamaan, ekonomi, pendidikan, perkantoran, social dll) dihentikan (disesuaikan) sementara, perilaku hidup orang perorang pun dibentuk untuk selalu memakai masker, mencuci tangan pakai sabun (handsanitizer), berolah raga, berjemur, penggunaan alat
pelindung diri (APD) dan lain-lain yang kesemuanya itu “mendorong” untuk terbentuknya sebuah keadaan, perilaku dan kebiasaan baru yang diharapkan akan menjadi budaya baru yang hadir ditengah- tengah masyarakat yang ditimbulkan karena adanya pandemic covid 19, bukan karena budaya yang terbentuk secara sukarela dilakukan masyarakat untuk menjadi sebuah kebiasaan.


Demikian juga halnya dalam konteks penyelenggaraan Pilkada, pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah menghentikan sementara tahapan Pilkada, dan berikutnya berdasarkan kesepakatan Pemerintah, DPR dan KPU setelah melihat perkembangan pendemi covid 19 secara umum di Indonesia, belum ada satu pihakpun (termasuk para ahli kesehatan dunia) yang dapat memastikan kapan pandemi covid 19 dapat bener-benar berakhir atau kepastian kapan dapat ditemukannya obat yang dapat mencegah/ mengobati dampak kesehatan covid 19, serta melihat perbandingan beberapa negara lain tetap menyelenggrakan agenda demokrasi/ pemilu di negaranya, diantaranya Jepang dan Korea Selatan, akhirnya menetapkan hari pencoblosan untuk Pilkada 2020 adalah tanggal 9 Desember 2020 dengan tahapannya dilanjutkan pada tanggal 15 Juni 2020.

Budaya Pemilu kita
Meskipun para ahli atau akademisi masih ada yang berbeda pendapat apakah Pilkada adalah termsuk rezim pemilu atau tidak, tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) RI melalui putusannya, telah menyatakan bahwa Pilkada adalah termasuk dalam rezim Pemilu. Sehingga tidak ada lagi dikotomi pemisahan antara Pemilu dengan Pilkada dilihat dari waktu penyelenggaraan, lembaga penyelenggaranya, mekanisme pengawasannya termasuk lembaga yang memeriksa dan memutus apabila terdapat sengketa atas penyelenggaraan atau hasil dari pemilihannya.


Budaya Pemilu kita sudah terbentuk dan terus menjadi perilaku yang muncul setiap ada pemungutan suara sebagai wujud kedaulatan rakyat (baca: Pemilihan) baik itu Pemilu Legislatif, Pilpres, Pilkada bahkan juga Pilkades, pola perilaku yang telah menjadi budaya dalam pemilihan akan menampakkan perilakunya. Diantaranya, para peserta melakukan sosialisasi dan kampanye terbuka, terbatas maupun tertutup dihadapan masyarakat calon pemilihnya, masyarakat “dimobilisasi” untuk menunjukkan besarnya dukungan/ kekuatan sebagai upaya untuk mendapatkan tambahan dukungan bagi mereka mata pilih yang masih berstatus massa mengambang (floating mas), penggunaan dan pemasangan alat peraga kampanye (baliho, banner, spanduk dll) ikut menjadi “dekorasi” sebagai tanda di suatu wilayah sedang akan dilaksanakan pemilihan. Termasuk juga “berbondong-bondong” pergi ke TPS sebagaimana semboyan ini juga disosialisasikan secara massif oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu sebagai tolak ukur tercapainya keberhasilan suatu pemilihan dengan melihat angka partisipasi pemilih yang tinggi dalam pemilihan, dan lain-lain perilaku penyelenggara dan masyarakat pemilih yang telah “diwariskan” secara turun menurun dari pemilu ke pemilu berikutnya, hingga hal tersebut sudah menjadi budaya pemilu kita.


Factor budaya yang sudah lekat dimasyarakat, bukanlah hal remeh temeh yang tidak perlu diperhatikan atau dipertimbangkan, justru menjadi salah satu unsur penentu dari bekerja dan atau berhasilnya sebuah sistem pemilu. Lawrence M. friedman, dalam bukunya “Legal Culture and Welfare State” (1975) menyatakan bahwa ada 3 komponen utama dalam sebuah sistem hukum dari perspektif
ilmu social; (1) substansi hukum (legal substance), ini dipahami dalam konteks Pilkada adalah seluruh aturan yang berkaitan dengan Pilkada, termasuk Perppu Nomor 2 tahun 2020 serta PKPU yang telah dan akan diterbitkan oleh KPU RI, (2) struktur hukum (legal structure), hal ini berkaitan dengan penyiapan dan kesiapan organisasi dan kelengkapan peralatan penyelenggara Pilkada sampai ketingkat TPS, dan (3) budaya hukum (legal culture), sebagaimana tadi diatas sudah sedikit dibahas dan akan kita “sounding” lebih jauh lagi, baik dari budaya penyelenggara maupun budaya peserta dan masyarakat sebagai pemilih yang akan berpartisipasi dalam Pilkada.


Budaya, menurut kamus besar bahasa Indoneia (KBBI) dipahami sebagai; sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah, sesuatu yang sudah berkembang. Selanjutnya budaya politik dipahami sebagai pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti kepada tingkah laku dan proses politik ataupun norma yang sedang berlaku dalam
masyarakat politik. Dan kita menyadari bahwa optic budaya politik yang jadi rujukan kali ini, karena Pilkada termasuk dalam ranah politik.


Keseluruhan budaya politik yang menyertai setiap Pilkada yang sudah menjadi kebiasaan (biasanya terjadi) yang sudah sukar diubah dan sudah berkembang dimasyarakat, mungkinkah dapat diubah sedemikian rupa ? mungkin saja, karena sukar bukan berarti tidak bisa berubah, tetapi perubahan itu membutuhkan tahapan, proses serta juga waktu dan tentu saja dilandasi oleh aturan yang bisa dipahami dan dipatuhi oleh mereka yang terlibat didalam Pilkada itu, baik penyelenggara maupun masyarakat pemilih.


Katakana untuk meng-endors perubahan budaya politik dalam setiap pemilihan (Pilkada) diawali dengan Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur tentang tata cara kampanye misalnya, setidaknya hal ini hingga sekarang masih dalam tahap persiapan, belum diterbitkan, belum disosialisakan apalagi untuk dipahami oleh masyarakat. Yang sebelumnya kampanye dengan berbagai bentuknya itu biasanya
melibatkan orang, terlebih bila kampanye terbuka, akan ada mobilisasi massa, kerumunan, pannggung kampanye dengan berbagai accessories hiburannya dan sebagainya, harus diubah dengan kampanye tanpa massa, tanpa panggung hiburan, tanpa kerumunan dan digantikan kampanye berbentuk daring (dalam jaringan), virtual, on line dan lain sebagainya tanpa berinteraksi physic secara langsung dengan menggunakan protokol kesehatan, menggunakan APD dan lain sebagainya.


Juga bagaimana masyarakat pemilik hak pilih dapat ditata sedemikian rupa agar pada saat hari pencoblosan dapat mengantri dengan berjarak, pengaturan jam datang ke TPS, penggunaan APD, mencuci tangan dengan sabun, para petugas di TPS yang selalu menggunakan APD dan lain sebagainya sesuai dengan protokol kesehatan, hal ini juga kiranya menjadi perhatian serius agar hari pencoblosan yang merupakan penentuan kedaulatan rakyat itu bisa terselenggara dengan baik, nyaman dan menghasilkan penyelenggaraan Pilkada yang berkualitas. Hal ini akan berkorelasi dengan tingkat partisipasi masyarakat, semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka semakin baik dan berkualitas Pilkada tersebut, demikian juga sebaliknya. Manakala perubahan budaya politik dalam Pilkada diterima secara gagap, tibatiba, menimbulkan rasa tidak nyaman dan sebagainya, maka tidak menutup kemungkinan pemilih akan sungkan datang ke TPS, tentu hal ini berimplikasi pada tingkat partisipasi pemilih.


Ada banyak hal lain yang perlu kita cermati dan persiapkan dalam konteks menata kembali Pilkada serentak yang didalamnya adanya banyak perubahan dan penyesuaian. Hal ini terjadi karena kondisi yang harus kita sesuaikan sebagai dampak pandemi covid 19, sementara disisi yang lain kita harus juga melaksanakan agenda-agenda kedaulatan rakyat seiring waktu yang berjalan. Tetapi perubahan budaya ditengah-tengah masyarakat tentu saja membutuhkan komitmen, landasan, tahapan, proses dan tentu saja waktu sehingga perubahan budaya tersebut tidak akan mereduksi kualitas penyelenggaraan Pilkada serentak kita, tetapi justru dapat memperkuat dan menambah kualitas penyelengaraan Pilkada yang tentu saja didalamnya terdapat peningakatan dan kesadaran kualitas hidup masyarakat yang merupakan bagian terpenting dalam proses Pilkada.


Perubahan budaya yang tidak tersosialisasi dengan baik akan menimbulkan “lompatan” budaya (baca: kesenjangan), fenomena pengambilan paksa jenazah yang diduga meninggal disebabkan covid 19 di Bekasi, Jawa Timur dan Makasar oleh keluarga korban yang membawa massa adalah satu bukti adanya dampak dari lompatan budaya, yang sekiranya keluarga meninggal biasanya diperlakukan pemulasaran, proses melayat dan pemakaman sebagaimana yang selama ini berlaku (budaya), karena covid 19, maka
pemulasaran dan pemakaman harus mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penularan. Adanya lompatan budaya inilah yang menyebabkan tindakan pengambilan paksa oleh keluarag dan massa terhadap jenazah korban covid 19. Dalam konteks Pilkada, tentu kita tidak berharap adanya perilaku masyarakat yang dapat merugikan sebagai akibat adanya lompatan budaya.


Bukan waktu pencoblosan Pilkada yang menjadi soal, akan tetapi sisa waktu yang ada harus dapat termanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar perubahan dan atau penyesuain tahapan dan pencoblosan Pilkada dipergunakan sebaik-baik agar Pilkada serempak dilaksanakan sejalan dengan doktrin Cicero, seorang filsuf Italia yang telah diakui dunia secara universal, “solus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu Negara).


Kita juga berharap, tentu saja pelaksanaan Pilkada serentak ini jangan sampai mengabaikan tercapaikan kualitas demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang semakin baik, bukan sebaliknya. Apalagi Pilkada serentak yang saslah satu tujuannya untuk mengefisiensikan penggunaan anggaran sedikit mengalami pergeseran, karena sebagaimana kita ketahui, dalam menyesuaiakan
kebutuhan pelaksanaan Pilkada serentak, KPU sebagai penyelenggara telah mengajukan tambahan anggaran sebesar 5 Triliyun Rupiah kepada Pemerintah. Kita tidak berharap justru adanya penambahan anggaran sebesar itu justru menghasilkan kualitas Pilkada yang berbanding terbalik, bukan semakin baik kualitasnya tetapi semakin menurun kualitasnya.


Penataan Pilkada sebagai dampak pandemi covid 19 yang melanda Indoneia sepatutnya bisa dikerjakan secara masif, terstruktur, dan sistematis yang berdampak bagi meningkatkanya kualitas Pilkada. Kita tentu tidak menghendaki adanya tagar #ga sengaja ditata dalam persiapan, tahapan dan kualitas hasil Pilkada serentak kita, semoga.

Bagikan berita ini:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses