Opini: Bedah Regulasi Penundaan Pilkada

Wendy Melfa Pengasuh RuDem
Wendy Melfa Pengasuh RuDem

Wendy Melfa

Penulis adalah Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)

 

 

Covid-19 sejak dideklarasikan sebagai pandemi berdampak terhadap berbagai agenda kegiatan kemasyarakatan dan juga kenegaraan hal mana harus menyesuaikan bentuk, tatacara maupun tentang kapan agenda tersebut dilaksanakan. Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 yang merupakan amanat UU 10/16 juga mengalami opsi penundaan melalui Perppu 2/2020 yang kemudian menjadi UU 6/2020 dengan catatan penting didalamnya berupa syarat bahwa semua tahapan Pilkada yang dilanjutkan harus menerapkan protocol Kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 serta dengan menjaga agar tahapan Pilkada tidak menjadi klaster penyebaran atau penularan Covid-19.    

 

Sejak dimulainya kembali tahapan Pilkada serentak 2020, terdapat 4 agenda tahapan yang dapat menimbulkan kerisauan akan peningkatan penularan terpapar Covid-19, karena didalamnya melibatkan konsentrasi massa dalam jumlah banyak atau dapat menghasilkan kerumunan yang rawan terhadap penularan covid-19, yaitu tahap pendaftaran pasangan calon di KPUD (4-6/9/2020), tahapan penetapan calon dan pengundian nomor urut paslon (23-24/9/2020), tahapan masa kampanye (26/9-5/12/2020) dan tahapan pemungutan suara (9/12/2020).

 

Sebagai langkah antisipasi untuk menata dan menghindari penularan covid-19 pada tahapan Pilkada, KPU selaku penyelenggara Pilkada menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 6 dan 10 dan menjadikan tahapan pendaftaran paslon sebagai uji coba pertama penerapan PKPU tersebut. Apa yang terjadi ?, semua kita tercengang ketika hampir seluruh bakal pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mendaftar di KPUD menyertakan massa dalam jumlah banyak bahkan mencapai ribuan, dan abai terhadap ketentuan penerapan protokol Kesehatan. Kecemasan menyeruak ditengah-tengah masyarakat dan juga tentu pemerintah menyaksikan fenomena pendaftaran paslon tersebut selama 3 hari, dan dibalik itu muncul pendapat-pendapat skeptis sampai opsi penundaan Pilkada serentak 2020 karena tidak meyakini bahwa protokol kesehatan efektif digunakan oleh peserta Pilkada pada tahapan selanjutnya serta dapat menyebabkan Pilkada sebagai klaster penularan covid-19 yang dapat membahayakan kesehatan masyarkat bahkan spekulasi banyaknya korban yang akan terinveksi covid-19 bahkan sampai korban jiwa. Fakta menunjukkan, menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dapat diakses dari berbagai media cetak dan elektronik, angka penularan terinveksi covid-19 menunjukkan peningkatan yang tajam (sampai 15/9 ada sebanyak 3.507 kasus baru), bahkan info terbaru, ketua KPU RI Arief Budiman pun terkonfirmasi positif covid-19 (18/9/2020).

 

Polmatrix Indonesia, sebuah lembaga survey dalam rilisnya: “temuan survey menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen, karrena khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan mencipatkan klaster baru covid-19”. Sementara itu, 12,1 persen responden memilih pilkada ditunda di daerah-daerah yang berstatus zona merah atau beresiko tinggi covid-19. Sedangkan 10,6 persen responden ingin Pilkada tetap dilanjutkan sesuai jadwal dan 4,9 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak jawab, demikian Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto, dikutip Antara (m.lampost.co, 17/9/20).

 

Hal yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menegaskan menunda Pilkada serentak 2020 bukan bentuk kegagalan. Masyarakat diyakini menerima keputusan pemerintah dan penyelenggara pemilu. Penundaan Pilkada justru memberikan citra positif bagi pengambil kebijakan. Masyarakat bakal melihat pemerintah cepat tanggap dan bisa membaca situasi, hal tersebut disampaikan mengingat penyebaran covid-19 yang makin massif memunculkan kekhawatiran, terutama menjelang tahapan kampanye (m.lampost.co, 18/9/20). Lantas dimana rilis hasil survey beberapa lebaga lembaga survey bidang politik ternama lainnya yang biasanya selalu ambil bagian setiap moment politik di tanah air ?, mungkin karena mereka tidak sempat mensurvey karena sibuk sebagai  ‘konsultan politik’ yang merupakan bagian dari tim pemenangan pasangan calon peserta Pilkada, Waallahu alam.

 

Hukum sebagai perekayasa (law as a tool of social engineering)

 

Mengutip teori penegakan hukum Lawrence M Friedman, ada tiga unsur yang mempengaruhi tegaknya hukum, yaitu (1) substansi hukum, (2) struktur hukum, (3) budaya hukum. Dari teori tersebut coba untuk memotret fenomena efektifitas tegaknya regulasi dalam pelaksanaan tahapan pendaftaran paslon Pilkada ke KPUD waktu yang lalu yang justru ditengarai melibatkan banyak massa, kerumunan dan meningkatkan angka penularan covid-19. 

 

Pengaturan tentang penggunaan protokol kesehatan dalam setiap tahapan Pilkada hanya diatur didalam PKPU, sementara di dalam Perppu 2/2020 yang dijadikan landasan yuridis penundaan pelaksanaan pemungutan suara, hanya mengatur dan merubah ketentuan sebelumnya (UU 10/2016) yang berkaitan dengan penundaan waktu pemungutan suara (23 september 2020), menentukan waktu pemungutan suara setelah ditunda (desember 2020), serta mengatur manakala pemungutan suara hasil penundaan tidak dapat dilaksanakan karena bencana non alam, maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam dimaksud berakhir (vide Pasal 122A dan Pasal 201A).

 

Pengaturan penggunaan protokol kesehatan yang hanya diatur dalam peraturan KPU hanya dapat memberikan sanksi administrasi sifatnya dan tidak mempunyai kekuatan sanksi pidana, sehingga ancaman yang relatif ringan hanya berupa sanksi administrasi tersebut tidak mempunyai “daya paksa” bagi peserta Pilkada yang terbukti tidak mematuhinya. Atas pelanggaran tersebut, hanya dapat dibidik menggunakan sanksi pidana dengan menggunakan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, namun itupun tidak dapat secara otomatis menyasar pertanggungjawaban pada pasangan calon peserta Pilkada, melainkan pada pribadi orang yang terlibat secara langsung, pada peserta kuruman misalnya.

 

Hal lain lagi misalnya, PKPU masih memberikan peluang terjadi kerumunan massa meskipun terbatas hanya 50 – 100 orang peserta pada beberapa jenis kegiatan kampanye, seperti KPU selaku penyelenggara dapat memberikan izin konser musik dalam kampanye, kegiatan jenis ini juga berpotensi dapat menimbulkan kerumunan massa meski hanya maksimal 100 orang massa. Ini terjadi karena PKPU tersebut masih merujuk pada UU 10/16 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang didalamnya sama sekali tidak mengatur tentang adanya bencana non alam covid-19 yang pencegahan penularannya tidak berkerumun. Situasi ini menggambarkan adanya gap antara ketentuan regulasi dengan keadaan senyatanya.

 

Untuk itu perlu adanya pembaharuan hukum lingkup Pilkada yang dapat dijadikan landasan yuridis yang lebih kuat untuk mengatur dan sekaligus dapat memberikan ancaman sanksi terhadap siapa saja, khususnya peserta Pilkada dengan ancaman pidana yang mempunyai efek jera, sehingga tingkat kepatuhan akan hukum dapat lebih diyakini. Hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat (law as a tool of social engineering, Roscoe Pound).

 

Penyempurnaan regulasi Pilkada ini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menghilangkan gap antara substansi hukum dengan keadaan senyataanya yaitu pandemi covid-19 yang sebelumnya tidak diduga akan menjangkiti masyarakat sehingga tidak terantisipasi pengaturannya didalam regulasi Pilkada secara memadai dalam arti mempunyai kekuatan paksa untuk bisa dipatuhi dalam pelaksanaanya. Sehingga kekuatan memaksa untuk dipatuhi tersebut adalah sebagai alat pembaharuan budaya masyakat untuk mematuhi protokol kesehatan dalam setiap tahapan Pilkada. Pembaharuan ini akan mendekatkan antara substansi hukum dengan budaya masyarakatnya yang patuh terhadap protokol kesehatan.

 

Penundaan waktu pemungutan suara adalah salah satu opsi yang ditawarkan beberapa pihak karena kekhawatiran atas ancaman meningkatnya penularan  covid-19, dan itu sangat dapat dimaklumi, tetapi sejatinya bila opsi penundaan itu tidak diakomodir oleh Pemerintah dan penyelenggara, maka langkah penting yang sepatutnya dilakukan adalah dalam waktu singkat ini, sebelum tahapan Pilkada dilanjutkan, seyogyanya demi kepentingan kesehatan masyarakat yang lebih utama, maka untuk menekan, menghindari dan memperkecil peluang penularan covid-19 dalam tahapan Pilkada, maka secepatnya perbaiki regulasi dan tingkatkan pengaturan tentang penggunaan protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada didalam UU atau setingkat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) karena keadaan memaksa.[*]

 

Bagikan berita ini:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.